Minggu

Pengarusutamaan Perlindungan Anak: Menantang Peran Tim Reaksi Cepat (TRC-Kementerian Sosial)

Pengarusutamaan Perlindungan Anak: Menantang Peran Tim Reaksi Cepat (TRC-Kementerian Sosial)
Pendahuluan
Pembangunan yang adil dan merata adalah hak bagi semua manusia termasuk  didalamnya adalah anak, pembangunan nasional harus berpihak kepada kepentingan pemenuhan kebutuhan dan hak anak. Pembangunan nasional, sebagai perencanaan mempunyai strategi untuk memenuhi dan melindungi hak anak yang akan dijadikan dasar pertimbangan utama para pengambil keputusan perencanaan pembangunan di semua aras (level) pemerintah (pusat atau daerah).
Usulan Menteri Sosial menerbitkan instruksi presiden untuk pengarusutamaan perlindungan anak (PUA) adalah ide yang tepat, tujuan utama pembuatan instruksi presiden ini adalah agar semua kebijakan yang diambil dalam pembangunan nasional akan berpihak kepada pemenuhan prinsip-prinsip hak anak dan menjadikan pemenuhan hak anak sebagai pertimbangan utama pengambilan keputusan dalam pembangunan disemua aras (level) pemerintahan (pusat dan daerah).
Jika itu terjadi maka kepedulian mengenai hak anak akan semakin meningkat dan pemenuhan hak-hak anak sebagai warga negara juga akan terjamin.
Usulan tersebut sebagai tanggungjawab negara terhadap hak konstitusi anak, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Keempat Pasal 28B (ayat 2), yang menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Undang Undang Dasar tersebut memposisikan anak sebagai obyek konstitusi dan yang pemilik atas hak konstitusi, dengan demikian negara telah menjamin dan melindungi pemenuhan dasar hak asasi anak,  selaras dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia (HAM). Dalam sidang PBB untuk mencapai Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) dan Dunia Yang Layak Bagi Anak (The World Fit for Children/WFFC), mengeluarkan butir-butir kesepakatan dan kemudian diimplementasikan ke dalam kebijakan pembangunan nasional dalam Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) yang telah dimulai tahun 2003.
Tapi target-target yang ingin dicapai oleh PNBAI lebih banyak kepada penurunan angka kematian bayi, dan peningkatan angka pendidikan anak. Pada kenyataannya masih banyak terjadi pelanggaran atas hak anak, baik karena ketidaktahuan, kesalahan cara pandang atau pengabaian pemenuhan hak anak yang ujungnya menimbulkan masalah sosial baru. Masalah sosial baru tersebut banyak terjadi dan dalam berbagai bentuk, seperti: kekerasan fisik karena pelampiasan emosi, perdagangan anak, seks komersial, pekerja anak, anak jalanan dan dalam bentuk lainnya dengan tujuan atau motif ekonomi.
Masalah sosial lainnya adalah penelantaran, pembuangan dan pembunuhan bayi, dan gizi buruk, secara umum di masyarakat masih terjadi pemaksaan kehendak orangtua untuk menjadikan anak hanya sebagai obyek dan kepentingan orang tua semata. Masalah sosial lainnya muncul karena pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama perkembangan teknologi informasi/maya (cyber), kejahatan- kejahatan yang memanfaatkan dunia maya seperti; perdagangan manusia antar negara, transaksi seks dunia maya, paedofilia, dan sebagainya.
Usaha-usaha kesejahteraan sosial dan penanggulangan masalah sosial anak melibatkan semua pemangku kepentingan, namun dalam pelaksanaannya masih terjadi kekurangan dan pencapaian tujuan sangat lambat karena pendekatan pelaksanaannya masih bersifat parsial.
Kesejahteraan Sosial Anak, Tim Reaksi Cepat (TRC-Kemsos), dan Urgensi Penegakan Hukum
1. Anak Mempunyai Harkat dan Martabat yang Setara dengan Orang Dewasa
Anak seperti halnya orang dewasa memiliki harkat dan martabat yang sama dengan orang dewasa, harkat dan martabat tersebut adalah sifat kodrati tiap manusia. Anak perlu bersosialisasi, berinteraksi, berpartisipasi, tumbuh, dan berkembang, setara dengan orang dewasa.
Konvensi Hak Anak jelas mengamanatkan setiap anak harus dilindungi dari perlakuan salah (child abuse) dan perlakuan lainnya yang berakibat pada gangguan psikologis anak jika tidak artinya ada pelanggaran terhadap hak asasi manusia, anak dilihat dari fisik dan mentalnya jika tidak dilindungi (diawasi atau dikontrol) belum mampu untuk melakukan perlindungan terhadap dirinya sendiri karena sifat dan fisiknya anak mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap orang dewasa.
Anak yang mengalami perlakuan salah akan berakibat gangguan selain fisik juga psikologis. Gangguan psikologis akan berakibat pada gangguan emosi, fungsi motorik fisik, dan kinerja mental,  hal ini akan berakibat pada keseharian anak, seperti: beraktivitas serba terburu-buru sehingga tidak mau antri, tidak bisa mengikuti pelajaran dengan baik, dan sering mengalihkan perhatian, dan mengganggu teman pada saat pelajaran.
Gangguan psikologis lain ditandai adanya kondisi emosi yang tidak stabil, seperti: mudah dan sering marah, keras kepala, sering membantah dan membangkang. Disamping itu, akan mengalami gangguan kecemasan yaitu kondisi perasaan takut dan khawatir secara berlebihan, hal akan berakibat pada gangguan psikologis lainnya, yaitu: insomnia dan hilang nafsu makan.
Akibat lain yang mungkin muncul adalah gangguan perilaku (conduct disorder), yaitu gangguan perilaku yang ditandai oleh aktivitas agresif dan destruktif,  perilaku yang cenderung merusak pada benda-benda yang ada lingkungannya, seperti: rumah, sekolah, tempat ibadah, dan fasilitas umum lainnya. Perilaku ini mengakibatkan kebiasaan buruk, yaitu kebiasaan melanggar norma-norma sosial, menggangu atau merampas hak-hak orang lain dan dilakukan terus menerus serta berulang-ulang.
Perilaku-perilaku anak akibat gangguan psikologis akan mengganggu tingkat keharmonisan dalam keluarga, hal ini memicu hubungan tidak sehat antara anak dengan orang tua.
Untuk jangka waktu panjang kondisi gangguan masa kecil akan terus diingat dalam ingatan alam bawah sadar, jika kelak dewasa dan saat menjadi orang tua perilaku-perilaku tersebut akan diulang kembali. Kenyataan ini akan ditimpakan kepada anak generasi berikutnya, bisa terhadap anak kandung sendiri atau anak-anak lainnya dan menciptakan siklus baru perlakuan salah terhadap anak.
2. Anak Mempunyai Hak Berekspresi dan Terlindungi dari Segala Ancaman Bahaya.
Anak memiliki hak mendapatkan kehidupan yang layak, berpartisipasi atau berekspresi secara bebas, membangun ide atau gagasan, terlindungi dari berbagai tindak kekerasan atau perlakuan salah. Dengan mendapatkan semua ini, pertumbuhan dan perkembangan anak dapat berlangsung secara baik karena itulah anak memiliki peranan yang strategis dalam menjamin kelangsungan eksistensi bangsa
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, anak adalah potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran yang strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.
Dalam undang-undang dasar, penegasan perlindungan anak juga diamatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 Amandemen Keempat Pasal 34, menurut Undang-Undang Kesejahteraan Sosial menyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlin­dungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan Kesejahteraan Sosial Anak adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial anak agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksa­­na­kan fungsi sosialnya.
Walaupun peraturan perundang-undangan mengatur dengan tegas tentang kewajiban negara untuk melindungi anak tapi masih ditemukan beberapa kasus kejahatan yang menjadikan anak sebagai korban, hal ini terjadi karena ketidaktahuan atau karena kesalahan cara pandang alasan motif ekonomi yang menganggap anak adalah potensi untuk menghasilkan uang semata.
Data UNICEF tahun 2003 dari hasil riset yang melibatkan sekitar 1.700 anak, menunjukkan bahwa dua per tiga anak laki-laki dan sepertiga anak perempuan pernah dipukul. Lebih dari seperempat anak perempuan mengalami perkosaan. Sebagian besar anak mengaku pernah ditampar, dipukul, atau dilempar dengan benda. Dari fakta tersebut menunjukkan bahwa potensi dan peluang kekerasan terhadap anak berada di area publik sekitar kehidupan kita, dan area privatpun tidak juga menjadi lebih aman serta tidak bebas dari ancaman dan potensi kejahatan.
Sebagian besar dari pelaku tindak kekerasan, ternyata dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, bahkan oleh orang tua sendiri. Angka dari sumber sama menunjukkan bahwa, ternyata pelaku tindak kekerasan terhadap anak dilakukan oleh lebih 80% pelaku yang dikenal korban. Hal ini sesuai dengan apa yang dilansir oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) bahwa, lebih dari 69% pelaku tindak kekerasan terhadap anak adalah orang yang dikenal baik oleh korban. Kenyataan ini setidaknya mengindikasikan bahwa pada sebagian keluarga, rumah yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman bagi anak, kini bukan lagi merupakan tempat yang aman dan nyaman bagi anak, karena justru di rumah sering terjadi tindak kekerasan terhadap anak.
Dalam rencana aksi Program Nasional bagi Anak Indonesia tahun 2003 salah satu kegiatan utama untuk perlindungan anak adalah penerapan law enforcement secara konsisten terhadap pelaku, penanggung jawab kegiatan dibebankan kepada Kepolisian RI (Polri) dengan indikator keberhasilan yaitu memberi dan menjalankan sangsi hukum kepada pelaku.
3. Penegakan Hukum dan Perlindungan Sosial Anak
Penegakan hukum oleh Polri masih banyak mendapat kendala, baik karena kendala kuantitas atau kualitas. Kendala kuantitas hal ini disebabkan rasio antara jumlah anggota Polri dengan kasus yang harus ditangani belum seimbang sehingga penanganan kasus masih banyak tertunda, kendala kuantitas lainnya adalah minimnya personil Polri yang memiliki kualifikasi sebagai penyidik.
Sedangkan kendala kualitas terletak pada personil Polri masih banyak yang belum memahami materi substansi kasus-kasus pidana tertentu, dan selanjutnya terjadi kendala pada sarana-prasarana pendukung penyidikan yang tidak memadai serta anggaran yang tidak terbatas.
Distribusi wewenang untuk melaksanakan tugas penyidikan kepada PPNS, tentunya akan memudahkan dan mempercepat serta mendukung dalam pengungkapan kejahatan pidana dan ini akan memberikan efek bagi masyarakat terhadap kepastian hukum.
Perkembangan dan dinamika politik membawa dampak terhadap penyempurnaan peraturan perundang-undangan khususnya perlindungan kepada anak, secara khusus diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang merevisi Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 memuat pesan yang tegas dan tegas kepada pemerintah untuk memperhatikan hak-hak anak dan menyeret serta mempidanakan pelaku kejahatan anak (predator).
Menarik apa dikatakan oleh Arist Merdeka Sirait dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang mendesak pemerintah segera membentuk Tim Reaksi Cepat (TRC) Perlindungan Anak. "Ini harus segera dibentuk demi menyelamatkan anak-anak yang menjadi korban kekerasan", walaupun secara tidak tegas menyebutkan apa dan bagaimana TRC yang dimaksud.
Pernyataan tersebut menunjukan bahwa tindakan melindungi anak adalah suatu keharusan dan kebutuhan yang mendesak, tidak boleh kendur dan bahkan harus lebih masif, dan mempertegas bahwa kelembagaan yang dianggap tepat untuk merespon kejahatan anak adalah dalam bentuk Tim Reaksi Cepat.
Belum lama berselang Menteri Sosial dalam suatu pertemuan memberi arahan -saat mereviu keberadaan Tim Reaksi Cepat Kementerian Sosial (TRC Kemsos)- untuk memperkuat posisi TRC, kemudian direspon oleh pengurus TRC dan mengeluarkan butir-butir kesepakatan untuk dijadikan rekomendasi.
Salah satu butir rekomendasi yang dianggap tepat dan sesuai kontek terkini adalah “Melakukan perbaikan terhadap regulasi/ dasar hukum yang terkait dengan TRC sesuai dengan perkembangan tuntutan dan kebutuhan”, perbaikan terhadap regulasi/ dasar hukum tersebut yang lebih tepat bertujuan untuk meningkatkan platform TRC.
Mengapa platform?
Niat dan tujuan dibentuk TRC adalah untuk memangkas dan meringkas birokrasi terhadap tugas yang memerlukan penanganan segera (kedaruratan), dan TRC mempunyai tugas, diantaranya penilaian kebutuhan cepat, referal kasus, advokasi sosial, penjangkauan, dan pengerahan.
Platform itulah yang menyebabkan ruang lingkup dan gerak menjadi serba terbatas padahal TRC mempunyai sifat yang unik yaitu mobilitas dan sumber daya yang tinggi, akibatnya eksplorasi menjadi terbatas dan ekspos diluar kurang begitu bergaung.
Atas ide dan gagasan Arist Merdeka, rekomendasi TRC-Kemsos dan arahan Menteri Sosial serta rencana aksi Program Nasional bagi Anak Indonesia tahun 2003, seharusnya TRC bisa menangkap peluang ini sebagai momentum untuk meningkatkan platform kerja TRC.
Platform TRC -yang selama ini mengasosiasikan tugas kedaruratan dengan tugas kebencanaan- ditambahi beban tugas sebagai law enforcement, yaitu melakukan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan anak (predator anak) dan trigger peraturan perundang-undangan untuk penegakan hukum tersebut adalah Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Kesejahteraan Sosial.
Dalam Undang-undang 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tertuang distribusi kewenangan kepada institusi lain, di luar Polri, untuk menjadi bagian dan terlibat dalam proses penegakan hukum dan menjadi bagian dari sistem peradilan pidana (Criminal Justice System).
Dalam sistem peradilan pidana tersebut penegak hukum diletakkan dengan landasan prinsip perbedaan fungsi di antara aparat penegak hukum lainnya sesuai dengan kewenangan yang diberikan dan amanat undang-undang kepada masing-masing penegak hukum lainnya.
Eksistensi penyidik selain Polri dijelaskan dan diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pasal 3 (1) Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
dibantu oleh : a. kepolisian khusus; b. penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau c. bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
Lalu pada pasal yang sama di angka (2) Pengemban fungsi kepolisian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, b, dan c, melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Walau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) didudukan mempunyai tugas membantu  Polri tapi lebih pada makna pendistribusian dan pembagian kewenangan tapi dilihat dari posisi dan otoritas hukum setara dengan Polri (penyidik).
Atas alasan tersebut Kementerian Sosial dimungkinkan untuk menjadi bagian dalam penegakan hukum, melembagakan PPNS dan kemudian mengintegrasi dalam sistem peradilan pidana. Lebih jauh tidak ada peraturan perundang-undangan yang mengatur bentuk formal dan struktur kelembagaan PPNS, inilah yang memungkinkan PPNS disimpan, dikelola dan diwadahi dalam struktur TRC, selain melakukan tugas kedaruratan TRC juga mempunyai tugas sebagai penegak hukum (PPNS).
Selain alasan hukum tersebut inilah beberapa alasan ideal PPNS diwadahi oleh TRC, karena:
  1. Mempunyai sifat unik memangkas birokrasi dan mempunyai keleluasaan untuk menggunakan dan mengerahkan personil lintas unit kerja.
  2. Mempunyai kemampuan bergerak dengan mobilitas tinggi.
  3. Mempunyai struktur organisasi yang ramping.
  4. Mempunyai kewenangan (privilese) akses merekrut personil lintas unit kerja.
  5. Tidak akan membebani tugas dan fungsi organisasi tata kerja yang sudah ada.
  6. Tidak akan merombak/ merestrukturisasi organisasi tata kerja yang sudah ada.
  7. Tidak akan mengganggu sistem penganggaran unit kerja yang sudah ada.  
  8. Menjaga indepedensi dan benturan dengan unit kerja teknis lain.
Perlindungan Anak dan Diskresi Pejabat Pemerintah
Perlindungan dalam perspektif menciptakan rasa aman ditentukan dan diukur dengan parameter penegakan hukum, hal ini dilakukan agar kepastian terhadap hukum bisa dijalankan sesuai dengan folosofi hukum itu sendiri. Roh dari perlindungan anak adalah memberi jaminan terhadap anak agar aman, senantiasa diliputi kepastian, selalu berada pada zona nyaman dan menghilangkan sumber ancaman dan potensi kejahatan, ahli Hukum (Amir Hamzah: penyusun RUU KUHAP) mendefinisikan perlindungan sebagai segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-hak sebagai seorang warga negara tidak diabaikan, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku.
Selanjutnya Amir Hamzah mensyaratkan perlindungan hukum, dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
  1. Ada obyek yang akan dilindungi.
  2. Berhubungan dengan hak yang akan tegakkan.
  3. Kepastian hukum, siapapun pelanggarnya tanpa mengenal diskriminasi akan diberi sangsi (hukuman)
  4. Ada sangsi hukuman, menerangkan dengan jelas jenis hukuman yang diberikan bagi pelanggar.
Selanjutnya selain alasan hukum PPNS harus segera dibentuk, alasan lainnya adalah masih tingginya angka kasus kejahatan terhadap anak, berikut catatan-catatan berita terkini yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber yang mengindikasikan para pelaku kejahatan anak masih terus bergentayangan menjadi ancaman anak.
Korban kejahatan anak akibat pesatnya perkembangan teknologi informasi (cyber) bisa dilihat data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dilansir oleh Harian Terbit: dari tahun 2011-2015 selama kurun waktu tersebut KPAI menerima laporan sebanyak 860, diantara laporan tersebut adalah anak dijadikan sebagai korban untuk dieksploitasi melalui virtual/ dunia maya dan angka laporan kasus tersebut berindikasi meningkat dalam tiap tahunnya.
Untuk kejahatan kekerasan dan kejahatan seksual data lain yang dilansir oleh Majalah Tempo dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menyatakan terjadi 21.689.797 kasus kekerasan terhadap anak dalam kurun waktu empat dari tahun 2010, diantaranya 12,5 jutaan atau sekitar 58% kasus tersebut adalah kasus kejahatan seksual dan sisanya 42% atau sekitar 9,2 jutaan adalah kasus kekerasan fisik, penculikan, eksploitasi ekonomi, dan perdagangan anak yang terjadi sampai tahun 2014.
Kejahatan eksploitasi anak karena motif dan tujuan ekonomi, Kementerian Tenaga Kerja yang dilansir JakTV mendata ada 1,7 juta anak dipekerjakan menjadi tenaga kerja dibawah umur hampir di semua sektor jasa informal, dan untuk kasus penelantaran Metro TV melansir data dari Pusdatin Kementerian Sosial bahwa lebih dari 4,1 juta anak terlantar diantaranya bayi dibawah lima tahun (balita) mencapai angka 2,8 juta.
Masih banyak kasus lainnya yang tidak terekspos karena berbagai alasan, seperti fenomena gunung es kasus-kasus kejahatan terhadap anak yang tidak dilaporkan diduga lebih besar daripada kasus yang dilaporkan.
Saatnya Kementerian Sosial sebagai lembaga utama dan  leading sector perlindungan kepada anak untuk mensegerakan memberikan tindakan nyata perlindungan kepada anak yaitu dengan pendekatan penegakan hukum, yaitu membentuk kelembagaan PPNS yang diwadahi dalam kelembagaan TRC, jika PPNS dibentuk maka akan menciptakan dampak psikologis menghadirkan efek jera dan efek takut bagi penjahat anak. Efek lainnya akan menebarkan rasa gentar karena mempunyai kekuatan memaksa untuk mempidanakan dan menyeret pelaku (predator) ke meja hijau.
Menteri Sosial sebagai Pejabat Pemerintah melihat kondisi tersebut, maka: pertama; sebagai konsekuensi Nawacita yang menjanjikan Pemerintah yang selalu hadir memberi rasa aman kepada masyarakat, kedua; demi kepentingan anak sebagai penerus bangsa, ketiga; dengan asas untuk melindungi hak asasi manusia, keempat;  berdasar pada Hukum Administrasi Negara, Menteri Sosial berhak menggunakan wewenang untuk melakukan diskresi.
Para pakar hukum mumpunyai pendapat yang senada terhadap makna diskresi, seperti yang diutarakan oleh seorang Ahli Hukum Administrasi Negara (HAN), Appe Hamonangan Hutauruk, SH., MH., menyampaikan alasan-alasan melakukan diskresi:
  1. Apabila terjadi kekosongan hukum;
  2. Adanya kebebasan interpretasi;
  3. Adanya delegasi perundang-undangan;
  4. Demi pemenuhan kepentingan umum.
Lebih lanjut dijelaskan tentang diskresi, "Tindakan pejabat negara untuk menjalankan pemerintah, dalam Hukum Administrasi Negara dibolehkan melakukan tindakan diskresi, asal memenuhi tiga asas Administrasi Negara; pertama, asas yuridikitas (rechtmatingheid): yaitu bahwah setiap tindakan pejabat administrasi negara tidak boleh melanggar hukum (harus sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan); kedua, asas legalitas (wetmatingheid): yaitu bahwah setiap tindakan pejabat administrasi negara harus ada dasar hukumnya (ada peraturan dasar yang melandasinya); dan, ketiga, asas diskresi yaitu kebebasan dari seorang pejabat negara untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri tetapi tidak bertentangan dengan legalitas."
Mengenai diskresi dikemukakan oleh Prof. Benyamin Hossein (Pakar Hukum Administrasi Negara dari UI), “Diskresi, adalah kebebasan Pejabat dalam mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri”, pendapat lain yang agak ekstrim disampaikan oleh DR. T. Gayus Lumbuun, SH., MH., “Diskresi adalah, kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik”.
Tentang kewenangan pejabat pemerintah melakukan diskresi diatur dalam Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan mempunyai definisi sendiri yang lebih spesifik tapi dengan makna yang sama, "Diskresi atau keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan."
Yang perlu ditegaskan adalah keputusan melakukan diskresi yang diambil harus menganut: Asas Legalitas, Asas Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, Asas Umum Pemerintahan yang Baik,
Merujuk Undang-Undang Administrasi Pemerintahan tersebut, pembentukan PPNS-PSA dapat ditempuh atas kewenangan Pejabat Pemerintah melakukan tindakan diskresi demi tujuan untuk kemanfaatan dan kepentingan umum.
Karena simpulan pendapat para pakar hukum dan dasar hukum peraturan perundang-undangan, berikut trigger penegakan hukum perlindungan anak dan menjadi hirarki hukum untuk menguatkan dan dasar hukum pembentukan PPNS-PSA TRC-Kemsos, adalah:
  1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
  2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial
  4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
  5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Anak
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 tentang tentang Pelaksanaan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
  8. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 115/HUK/2011 tentang TRC Kemensos
Momentum Sosial dan PPNS-PSA
Momentum Pertama; Pendapat Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait dari acara Sebelas Duabelas meminta pemerintah membuat simbol simbol negara yang memihak, melindungi dan memberi rasa aman kepada anak.
Momentum Kedua; Pendapat Anggota Komisi III DPR RI dari media daring Warta Kota dan running text Jaktv, Masinton Pasaribu mendukung pemberlakuan sanksi maksimum apalagi terhadap kejahatan anak, baik penjara seumur hidup maupun pidana mati.
Momentum Ketiga; Usulan-usulan dan respon para pejabat negara bagi predator, dari berbagai sumber berita;  Menteri Sosial, Gubernur DKI Jakarta, Komisioner KPAI, Komisioner Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) mengusulkan pemberatan hukuman berupa kebiri untuk memberikan efek jera.
Momentum Keempat; Dalam acara AKI Malam di TVOne ahli Psikologi Forensik Reza Indragiri menyampaikan: bahwa kasus Angeline sebagai momentum untuk secara konsekuen menegakkan Undang Undang Perlindungan Anak.
Momentum Kelima; dalam peringatan Hari Anak Nasional (HAN) 2015 yang beritakan oleh media daring Liputan 6 dan running text TVOne, dalam acara One Day For Children atau Sehari bersama Anak-Anak di PSBR Bambu Apus, Menteri Sosial menyampaikan: “Yang diperingati setiap 23 Juli kali ini harus menjadi momentum koreksi secara komprehensif bagi perlindungan anak”, disampaikan pula tentang kondisi penegakan hukum perlindungan anak, “UU PA di Indonesia sebenarnya sudah sangat progresif, namun penegakan hukum perlu lebih ditingkatkan”.
Momentum Keenam; Atas usulan KPAI Presiden Joko Widodo tanggal 21 Oktober 2015 setuju diterbitkannya peraturan pemerintah penggati undang-undangan (perppu) yang mengatur hukuma kebiri bagi pelaku kejahatan seksual anak. Ketua KPAI Asrorun Ni'am: "Jaksa Agung mengusulkan pemberatan hukuman dengan pelaksanaan kebiri yang direspons baik oleh Presiden, dan didukung oleh Menteri Sosial."
Momentum-momentum tersebut selayaknya penjadi pendorong dan energi para pengambil kebijakan saatnya sekarang Kementerian Sosial untuk bertindak nyata memberi perlindungan dan memberi rasa nyaman kepada anak dengan mempidanakan para predator, serta bersama-sama bahu membahu dengan penegak hukum lainnya dan menjadi bagian dalam sistem peradilan pidana.
Penutup
Keharusan memberi perlindungan kepada anak tidak hanya bermanfaat bagi anak itu sendiri tapi secara tidak langsung bermanfaat bagi bangsa, karena anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa. Apabila anak terancam maka eksistensi suatu bangsa pun ikut terancam pula, oleh karena itu anak harus bebas dari segala macam potensi ancaman kejahatan.
Peraturan perundang-undangan memberi ruang bagi lembaga pemerintah diluar Polri untuk melembagakan penyidik (PPNS) dan menjadi bagian dalam sistem peradilan pidana.
Sebagai leading sector perlindungan anak, Kementerian Sosial harus terlibat langsung dengan membentuk lembaga Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perlindungan Sosial Anak (PPNS-PSA) untuk memberi efek psikologis dan menebarkan rasa takut bagi pelaku kejahatan anak (predator).
Tim Reaksi Cepat Kemensos karena mempunyai sifat unik menjadi wadah dan pemegang kendali kerja PPNS-PSA.Trigger peraturan perundang-undangan pembentukan PPNS-PSA adalah wewenang dan inisiatif Pejabat Pemerintahan untuk melakukan diskresi yang diatur dalam Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
Banyaknya kasus kejahatan anak dan pernyataan-pernyataan pejabat negara, penggiat anak, praktisi, akademisi yang berpihak kepada anak untuk dijadikan momentum dan energi positif menguatkan niat kita memberi rasa aman dan nyaman kepada anak secara nyata dan konsekuen serta terus menerus memviralnya kesemua kalangan.
@wawanpriha #pengamat sosial

coming soon,.....

PERLINDUNGAN ANAK DENGAN HUKUM DAN PENYELESAIAN NON LIGASI

Referensi:

Reformasi Birokrasi Pemerintahan dari http://appehutauruk.blogspot.co.id/

Fenomena Diskresi vs Korupsi dari http://artikel.kantorhukum-lhs.com/



unduh file asli, disini >>>>>